Sejarah
kopi telah dicatat sejauh pada abad ke-9. Pertama kali, kopi hanya ada di
Ethiopia, di mana biji-bijian asli ditanam oleh orang Ethiopia dataran tinggi.
Akan tetapi, ketika bangsa Arab mulai meluaskan perdagangannya, biji kopi pun
telah meluas sampai ke Afrika Utara dan biji kopi di sana ditanam secara
massal. Dari Afrika Utara itulah biji kopi mulai meluas dari Asia sampai
pasaran Eropa dan ketenarannya sebagai minuman mulai menyebar.
Kata
kopi sendiri berasal dari bahasa Arab: قهوة qahwah yang berarti kekuatan,
karena pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Kata
qahwah kembali mengalami perubahan menjadi kahveh yang berasal dari bahasa
Turki dan kemudian berubah lagi menjadi koffie dalam bahasa Belanda. Penggunaan
kata koffie segera diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kopi yang
dikenal saat ini.
Kedai
kopi pertama di dunia dibuka di Makkah pada awal abad 15. Kedai-kedai itu
adalah tempat yang nyaman, tempat orang-orang memanjakan diri dan berdiskusi
politik sambil menghadapi segelas kopi. Selama periode ini, kopi disajikan
dengan merebus biji di dalam air. Praktik menghaluskan dan me-roasting kopi
dimulai di Turki, sekitar 100 tahun kemudian. Di Istanbul yang terkenal
memiliki ratusan kedai kopi.
Diketahui
pula bahwa jemaah haji yang kembali dari beribadah di belahan dunia arab
membawa bibit kopi ke India pada awal adab 16. Catatan tertulis menunjukkan
bahwa Gubernur Belanda di Malabar (India) mengirim bibit kopi Yaman atau kopi
arabika (Coffea arabica) kepada Gubernur Belanda di Batavia (sekarang Jakarta)
pada tahun 1696. Bibit pertama ini gagal tumbuh karena banjir di Batavia.
Pengapalan kedua biji kopi ke Batavia dilaporkan terjadi pada tahun 1699.
Tanaman ini tumbuh, dan pada tahun 1711 eksport pertama dikirim dari Jawa ke
Eropa oleh perusahaan dagang Belanda, dikenal sebagai VOC (Verininging Oogst
Indies Company) yang didirikan pada tahun 1602. Selama 10 tahun, eksport
meningkat menjadi 60 ton per tahun. Indonesia adalah tempat pertama kali kopi
dibudidayakan secara luas di luar Arab dan Ethiopia. VOC memonopoli perdagangan
kopi pada tahun 1725 sampai 1780.
Pada
tahun 1700-an, kopi yang dikapalkan dari Batavia dijual seharga 3 Gilders per
kilogram di Ansterdam. Income tahunan Belanda di tahun itu sekitar 200 sampai
400 Guilders, hal ini sebanding dengan beberapa ratus dolar tiap kilogram saat
ini. Di akhir abad 18 harga jatuh menjadi 0,6 Guilders per kilogram dan tradisi
minum kopi meluas mulai dari kalangan elit sampai masyarakat kebanyakan.
Pada
tahun 1850, pegawai kolonial belanda, Eduard Doues Dekker, menulis sebuah buku
berjudul “Max Havelaar and the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company”
yang mengekspose pressure pada petani oleh pegawai-pegawai korup dan tamak.
Buku ini membantu mengubah opini publik Belanda tentang “Cultivate System” dan
kolonialisasi secara umum. Baru-baru ini nama Max Havelaar diadopsi oleh suatu
organisasi fair-trade pertama.
Pada
tahun 1920, perusahan-perusahaan kecil di Indonesia mulai menanam kopi sebagai
komoditas utama. Perkebunan di Jawa dinasionalisasi pada hari kemerdekaan dan
direvitalisasi dengan varietas baru kopi arabika di tahun 1950-an. Varietas ini
diadopsi oleh perusahaan-perusahaan kecil melalui pemerintah atau berbagai
program pengembangan masyarakat. Sekarang lebih dari 90% kopi arabika Indonesia
dikembangkan oleh perusahaan kecil terutama di daerah Sumatra Utara, dengan
lahan 1 hektar atau kurang. Produksi arabika tahunan sekitar 75.000 ton dan 90%
diekspor. Kopi arabika yang sampai ke negara lain sebagian besar masuk ke
segmen pasar spesial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar